Taqlid terhadap ulama yang memiliki ilmu agama adalah perintah dari Allah yang mana Allah SWT berfirman :
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai ilmu jika kamu tidak mengetahui”. (An Nahl 43).
Para ulama telah sepakat bahwa ayat diatas merupakan perintah kepada orang yang tidak mengerti hukum dan dalil agar mengikuti orang yang memahaminya. Seluruh ulama usul telah menetapkan ayat ini sebagai dasar pertama untuk mewajibkan orang awam agar taqlid pada mujtahid.
Semakna dengan ayat diatas ialah firman Allah s.w.t :
“tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap‐tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”. (At‐taubah 122)
Dalam ayat ini Allah Azz Wajalla melarang semua orang pergi berperang dan melakukan jihad, tepati memerintahkan agar segolongan dari mereka tetap tinggal di tempatnya untuk mempelajari ilmu agama sehingga bila orang‐orang yamg dapat memberikan fatwa tentang urusan halal ‐ haram serta menjelaskan hukum‐hukum Allah S.W.T lainya. Dengan demikian, yang bertaqlid itu tidak hanya terbatas pada orang awam saja. Orang‐ orang alim yang sudah mengetaui dalilpun masih dalam katagori seorang muqallid. Selama belum sampai pada tingkatan mujtahid, mereka wajib bertaqlid, sebab pengetahuan mereka hanya sebatas dalil yang digunakan, tidak sampai kepada proses, metode dan seluk beluk dalam menentukan suatu hukum.
Al-Allamah Thayyib bin Abi Bakr al‐Hadhrami menegaskan “Orang alim yang tidak sampai pada tingkatan ijtihad, maka sebagaimana orang awam, mereka wajib ber‐taqlid.” (Mathlab al‐ Iqazh fi al‐Kalam al‐Syai’in min Ghurar al‐Alfazh, 87)
Adapun Taqlid dari segi Ijma’ di zaman sahabat menunjukkan bahwa para Sahabat Nabi s.a.w. tidak sama tingkatan ilmu dan tidak kesemua nya ahli fatwa sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Khaldun. Dan masalah agama pun tidak diambil dari mereka semua. Diantara mereka ada yang jadi mufti atau mujtahid , tetapi jumlahnya sangat sedikit dan ada pula yang meminta fatwa dan menjadi muqallid yang jumlahnya sangat banyak. Para sahabat yang menjadi mufti (mujtahid) dalam menerangkan hukum agama , tidak selalu menerangkan dalil‐dalil nya kepada yang meminta fatwa.
Rasulullah s.a.w. telah mengutus para sahabatnya yang ahli hukum kedaerah‐daerah yang penduduknya tidak mengenal Islam, selain hanya mengetahui akidah dan rukun‐ rukunnya saja. Kemudian para penduduk daerah tersebut mengikuti fatwa utusan Rasulullah s.a.w dengan mengamalkan ibadah dan muamalah, serta segala macam urusan yang ada sangkut–paut nya dengan halal dan haram. Apabila para utusan Rasul menjumpai masalah yang tidak ditemui kan dalil nya dari Al Kitab dan as Sunnah, ia melakukan ijtihad dan memberi fatwa menurut petunjuk dari hasil ijtihadnya selanjutnya, penduduk setempat mengikuti fatwa tersebut.
Hal di atas telah kami sampaikan bahwa ketika sahabat Mua’dz dikirim oleh Rasulullah SAW ke Yaman sebagaimana berikut:
“Dari sahabat Mu’adz berkata; tatkala Rasulullah SAW mengutus ke Yaman, Rasulullah bersabda bagaimana engkau menentukan apabila tampak kepadamu suatu ketentuan? Mu’adz menjawab; saya akan menentukan hukum dengan kitab Allah? kemudian nabi bersabda; kalau tidak engkau jumpai dalam kitab Allah? Mu’adz menjawab; dengan Sunnah Rasulullah s.aw. kemudian nabi bersabda; kalau tidak engkau jumpai dalam Sunnah Rasulullah dan dalam kitab Allah? Mu’adz menjawab; saya akan berijtihad dengan pendapat saya dan saya tidak kembali; Mu’adz berkata: maka Rasulullah memukul dadanya, kemudian Mu’adz berkata; Alhamdulillah yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rasulullah SAW dengan apa yang Rasulullah meridlai‐Nya.
Tag :
mazhab
0 Komentar untuk "Mengapa Wajib Taqlid? Mengapa Harus Bermadzhab? Inilah Alasannya, YUK NGAJI! bagian ke-2"